Tambang Freeport Papua: Berkah bagi Investor, Kutukan bagi Masyarakat Adat

astakona.com, BERITA LINGKUNGAN HIDUP. Kisah panjang tambang Freeport Papua selalu menimbulkan kontroversi. Sejak masa pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto, Freeport McMoran, perusahaan asal Amerika Serikat, berhasil menancapkan pengaruhnya di bumi Papua melalui eksploitasi sumber daya alam berskala besar.
Strategi Orde Baru yang membuka keran investasi asing setelah Indonesia beralih orientasi dari blok timur ke blok barat, memberi ruang bagi Freeport untuk masuk. Di tahun 1967, perusahaan tambang raksasa itu mulai beroperasi di kawasan Ertsberg, Mimika. Tidak lama berselang, eksplorasi menemukan lokasi baru bernama Grasberg, yang menyimpan cadangan emas, perak, dan tembaga dalam jumlah luar biasa.
Bagi Freeport dan elite penguasa saat itu, kehadiran tambang membawa keuntungan besar. Laporan Majalah Tempo pada 1999 mencatat, hanya dalam beberapa tahun setelah beroperasi, Freeport sudah mengantongi laba bersih puluhan juta dolar. Bahkan setelah Grasberg ditemukan pada 1988, potensi keuntungan melonjak hingga 1,8 miliar dolar AS setiap tahunnya. Freeport juga menjadi penyumbang pajak terbesar di era Orba.
Namun, cerita manis bagi investor dan pemerintah tidak berlaku bagi masyarakat adat Papua. Sejak awal, tambang Freeport Papua dianggap membawa lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Komunitas seperti suku Amungme menyaksikan sumber penghidupan mereka hancur. Limbah tambang (tailing) yang mencapai 40 juta ton per tahun dibuang ke Sungai Ajkwa dan Danau Wanagon, merusak ekosistem air dan menghancurkan mata pencaharian tradisional.
Pengamat lingkungan hidup, Yani Sagaroa, menilai dampak kerusakan yang ditimbulkan Freeport sangat spektakuler, bukan hanya di mata masyarakat Indonesia, tetapi juga dunia internasional. Menurutnya, eksploitasi yang masif ini menghasilkan kemiskinan struktural di kalangan masyarakat adat. Mereka kehilangan lahan, sumber pangan, sekaligus hak dasar untuk hidup sehat.
“Tidak pernah ada cerita masyarakat di sekitar tambang menjadi sejahtera. Justru yang terjadi adalah pemiskinan yang luar biasa,” ungkap Yani, yang pernah menjabat di Dewan Nasional WALHI (2008–2012). Ia menambahkan, rekrutmen pekerja di tambang pun diskriminatif, karena mayoritas didatangkan dari luar Papua bahkan luar negeri, sehingga masyarakat lokal tersisih.
Perlawanan masyarakat adat Papua pun lahir dari kondisi tersebut. Tokoh seperti Mama Yosefa Alomang dan Tom Beanal menjadi simbol perjuangan suku Amungme menentang ketidakadilan yang mereka alami. Namun, meski sebagian saham Freeport belakangan diambil alih oleh Indonesia, kesejahteraan masyarakat adat tidak banyak berubah.
Pada akhirnya, sejarah panjang tambang Freeport Papua adalah potret ganda: di satu sisi menjadi berkah ekonomi bagi investor dan pemerintah pusat, di sisi lain meninggalkan jejak kerusakan lingkungan, pemiskinan, dan konflik sosial yang membekas dalam kehidupan masyarakat asli Papua. (Astakona.com/AA)